Tak Bijak Tarik Pajak dari Gaya Hidup WP
Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan, foto : arief/hr
Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PKM) Nomor : 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto. PMK ini memberikan kewenangan aparat pajak menentukan omzet peredaran bruto bagi wajib pajak (WP), termasuk dari gaya hidup WP yang bersangkutan.
Heri Gunawan mengkritik keras regulasi ini, karena berpotensi menuai keresahan para WP. "Dari kacamata fiskus, aturan ini bisa dibenarkan, tapi dari kacamata legalitas, kurang bisa dibenarkan karena tidak didukung dengan data yang kuat. Urusan pajak adalah urusan yang tidak boleh dikira-kira lewat perhitungan tak langsung. Harus akurat tanpa polemik. Gelombang protes pun kapan saja bisa terjadi," tandas Heri saat ditemui sebelum Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/3/2018).
Dikatakannya, laporan penghasilan WP harus dibuktikan dengan faktur, nota, kuitansi, dan lain-lain. Apabila sudah ada pembukuan, metode-metode yang ada di PMK ini masih tetap bisa dipakai. Untuk pemeriksaan terhadap WP yang sudah menyelenggarakan pembukuan dengan baik, tetap dimungkinkan melakukan pengujian-pengujian terhadap pelaporannya. PMK ini terbit di tengah para WP besar banyak yang dibiarkan, walau data sudah terpublikasikan. Bahkan, menurut Heri, banyak WP besar yang berganti kewarganegaraan.
Ribuan status WP yang masuk keranjang pemeriksaan juga belum jelas penyelesaiannya hingga kini. “Seharusnya ada integrasi antara Kemenkeu dengan penegak hukum, PPATK, dan imigrasi,” kilah anggota F-Gerindra ini.
Kini, pemerintah juga sedang giat mengejar WP UMKM. Dalam PP Nomor 46/2013 tentang PPh Penghasilan dari Hasil Usaha juga tak mendefenisikan sasaran calon kena pajak sesuai dengan UU UMKM. UMKM di Indonesia mencapai 57 juta. Hanya saja itu tidak terdata. Akibatnya, menyulitkan kontrol dan pengukuran dengan valid.
Bagi Heri, sebetulnya mudah saja menarik pajak dari WP berdasarkan data yang terukur. Tak ada alasan bagi fiksus untuk menetapkan langsung omzet peredaran bruto karena alasan pembukuan yang tidak layak. “Solusinya sederhana saja, surati WP yang bersangkutan, lalu bikin perbandingan data. Di sini bisa terhjadi adu data. Bukan tiba-tiba langsung menghitung dengan caranya sendiri. Itu tidak arif,” kilah Heri tegas. (mh/sc)